Berkurban berarti merelakan sebagian milik kita untuk dinikmati atau dimiliki oleh orang lain. Berkurban berarti meyakini bahwa kebaikan dari memberi akan memperoleh imbalan baik dari Tuhan, Sang Maha Memberi. Berkurban berarti mendengarkan kata Tuhan yang direfleksikan melalui kata hati.
Sering kali kita mendengar anjuran untuk berkurban atas nama kebaikan, kemanusiaan maupun historis. Semua terasa indah di telinga dan manis di bibir. Tidak terasa kata-kata ‘berkurban’ menjadi hiasan bahkan untuk pembenaran atas suatu tindakan yang, kadang-kadang, tidak sesuai dengan makna berkurban itu sendiri.
Mudahkah untuk berkurban? ketika kepercayaan akan sesuatu yang hakiki melebihi kenyataan yang nisbi maka jalan kurban menjadi mudah. tetapi ketika keyakinan akan kekuasaan materi melebihi kepercayaan akan adanya kekuasaan Maha Pemurah, kurban dianggap sebagai kesiasiaan.
Lihatlah seorang ibu yang rela berkurban untuk anaknya, bahkan ketika si anak belum mewujud di dunia. Apapun menjadi mudah bagi si ibu karena dia percaya bahwa anaknya akan membawa kebaikan bagi dirinya. Si ibu yang merelakan sebagian dari darahnya untuk menjadi penyambung hidup anaknya. Demikian mudahnya si ibu berkurban tanpa harus diminta oleh anaknya.
Sebagian dari kita menganggap bahwa apa yang didapat di dunia memang adalah hak kita sepenuhnya. Tidak ada bagian orang lain yang dalam miliknya, tidak ada kesempatan orang lain menikmati meski hanya mengagumi.
Jalan menuju pengurbanan menjadi terjal manakala hati masih terselimuti ketamakan, selalu mau menang sendiri dan tidak adanya empati untuk sesama manusia. Jalan terjal yang akan semakin membutakan mata hati ketika ternyata ketamakannya itu semakin melimpahkan harta dan terlepasnya perasaan iba dari hati.
Semoga semangat berkurban lebih ter-refleksikan dalam bentuk nyata, tidak hanya sekedar jargon dan slogan kosong.
Selamat berkurban.